Sejarah Madrasah

A. Akar Berdirinya Madrasah di Dunia Islam

Dalam sejarah Islam, madrasah sudah menjadi fenomena yang menonjol sejak awal abad 11-12 M (abad ke-5 H), khususnya ketika Wazir Bani Saljuk, Nidzam al-Mulk mendirikan madrasah Nidzamiyah di Baghdad. Sebuah lembaga pendidikan yang bertujuan menyebarkan pemikiran Sunni untuk menghadapi tantangan pemikiran Syi'ah, menyediakan tenaga-tenaga pengajar dari kalangan Sunni dan menyebarkannya ke berbagai daerah, serta membentuk kelompok pekerja Sunni untuk berpartisipasi dalam menjalankan pemerintahan, memimpin kantor, khususnya di bidang peradilan dan manajemen.

Pada abad pertengahan, madrasah Nidzamiyah kemudian dipandang sebagai lembaga pendidikan par exellence dan menjadi trend di hampir seluruh wilayah kekuasaan Islam. Secara historis, dalam kajian yang lebih terfokus pada madrasah Nidzamiyah periode pertengahan di Baghdad, George Makdisi mengungkapkan bahwa akar sejarah pertumbuhan madrasah dalam dunia Islam melewati tiga tahap, yaitu: (1) Tahap Masjid, (2) Tahap Masjid Khan, dan (3) Tahap Madrasah.

Tahap pertama adalah tahap masjid berlangsung terutama pada abad ke delapan dan sembilan. Masjid yang dimaksud dalam konteks ini adalah masjid yang selain digunakan sebagai tempat shalat berjama'ah juga digunakan sebagai majlis taklim (pendidikan).

Tahap kedua adalah lembaga masjid Khan, yaitu masjid yang dilengkapi dengan bangunan Khan (asrama atau pondokan) yang masih bergandengan dengan masjid. Berbeda dengan masjid biasa, masjid Khan menyediakan tempat penginapan yang cukup representatif bagi para pelajar yang datang dari berbagai kota. Tahap ini mencapai perkembangan yang sangat pesat pada abad ke-10.

Sedangkan tahap ketiga adalah madrasah yang khusus diperuntukkan bagi lembaga pendidikan. Pada tahap ini, madrasah yang pada umumnya terdiri dari ruang belajar, ruang pondokan, dan masjid, telah berhasil mengintegrasikan kelembagaan masjid biasa (tahap pertama) dengan masjid Khan (tahapp kedua).

Demikianlah, lembaga pendidikan Islam yang sebelumnya banyak dilakukan di masjid-masjid dan kuttab-kuttab ini terus mengalami penyesuaian. Madrasah terus meluas dan berkembang sejalan dengan perkembangan zaman berikut ragam perubahan yang diimplikasinya. Akan hal ini, Maksum dalam Madrasah, Sejarah, dan Perkembangannya (1997), menegaskan bahwa setidaknya ada dua faktor yang sangat berpengaruh bagi awal perkembangan madrasah.

Pertama, perhatian dan peran aktif penguasa. Tidak bisa dipungkiri bahwa keterlibatan pemerintah memiliki andil yang cukup besar bagi perkembangan dan kemajuannya. Sejarah mencatat, perhatian yang besar dari para pemimpin seperti Nidzam Al-Mulk (456-485 H/1063 M), Nur Al-Din Zanky (541-569 H/ 1146-1174 M), Shalahuddin Al-Ayyubi (564-589 H/1169-1193 M), dan Muntansir Billah (623-640 H/1226-1242 M), menjadi salah satu faktor determinan bagi tersebar luasnya madrasah di berbagai daerah.

Kedua, perhatian yang besar dari para saudagar, ulama, dan elemen masyarakat lainnya. Tidak sedikit dari mereka yang mendirikan madrasah dengan model dan standar yang relatif sama dengan madrasah yang didirikan oleh para penguasa pada zamannya. Dalam hal ini, Al-Azzawi mencatat bahwa pada masa Bani Saljuk terdapat lebih dari tiga puluh madrasah yang didirikan oleh mereka yang tidak memiliki kaitan dengan pemerintah. Demikian juga Ahmad Syalabi, dari hasil penelitiannya, dia menemukan sedikitnya ada enam belas madrasah pada masa Dinasti Ayyubiyah yang didirikan oleh perorangan.

Fenomena ini menunjukkan, bagaimana sinergi antara pihak pemerintah dengan swasta pada awal perkembangan madrasah menjadi sebuah kekuatan yang sangat kuat bagi kemajuan dan perkembangan madrasah. Tanpa perhatian dan partisipasi keduanya, berharap agar madrasah menjadi sebuah lembaga pendidikan yang maju dan berkembang adalah sesuatu yang sangat utopis. Disinilah semestinya kita belajar dari awal sejarah perkembangan madrasah di dunia Islam.

B. Perkembangan Madrasah di Indonesia

Dalam pengertian umum, madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam telah muncul dan berkembang seiring dengan masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia. Madrasah telah mengalami perkembangan jenjang dan jenisnya seirama dengan perkembangan bangsa sejak masa kesultanan, masa penjajahan, dan masa kemerdekaan. Perkembangan tersebut telah merubah pendidikan dari bentuk awalnya, seperti pengajian di rumah- rumah, langgar, mushalla, dan masjid, menjadi lembaga formal sekolah seperti bentuk madrasah yang kita kenal saat ini.

Demikian pula dari segi materi, telah terjadi perkembangan dan penyesuaian dalam penyelenggaraan pendidikan. Kalau sebelumnya hanya belajar mengaji Al-Quran dan ibadah praktis, melalui sistem madrasah, materi pelajaran mengalami perluasan seperti tauhid, hadis, tafsir, dan Bahasa Arab. Bahkan, madrasah kemudian mengadopsi pelajaran umum sebagaimana sekolah- sekolah di bawah pembinaan Departemen Pendidikan Nasional. Dalam pengertian khusus yang seperti inilah sejarah perkembangan madrasah di Indonesia masih menjadi sebuah potret buram. Apakah keberadaannya mempunyai keterkaitan atau hubungan dengan madrasah yang berkembang di Timur Tengah pada abad 11-12 M ataukah madrasah di Indonesia mempunyai latar belakang sejarahnya sendiri dan ini dikembalikan pada situasi di awal abad ke-20? Jika benar demikian, lantas bagaimanakah proses perkembangan itu terjadi? Berikut akan dipaparkan sekilas tentang perkembangan madrasah di Indonesia sejak awal abad ke-20, Orde Lama, Orde Baru, sampai Era Reformasi sekarang ini.

1. Madrasah di Awal Abad ke-20

Meski belum menemukan kata sepakat, mayoritas peneliti lembaga pendidikan Islam di Indonesia pada umumnya berpandangan bahwa menyerupakan antara madrasah yang berkembang di Timur Tengah pada abad 11-12 M dengan madrasah yang berkembang di Indonesia adalah sesuatu yang tidak pada tempatnya. Kalaupun mau dihubungkan, hal itu lebih tepat bila dikaitkan dengan pesantren. Pasalnya, bila diukur dari ketentuan fisik, menurut George Maksidi, ditemukan kesamaan di antara keduanya, yaitu sama-sama terdiri dari masjid, asrama, dan ruang belajar. Adapun kurikulum yang bersifat baku yang mengatur pelaksanaan pendidikan, sebagai pra syarat bagi sebuah madrasah dalam pengertian sekolah, belum ditemukan.

Sejalan dengan itu, agaknya lebih tepat untuk menyimpulkan bahwa madrasah di Indonesia mempunyai latar belakang sejarahnya sendiri; dan hal itu dimulai pada awal abad ke-20. Jika demikian adanya, bagaimanakah babakan sejarah madrasah di In- donesia dimulia? Sukamto, dosen luar biasa pada Sekolah Tingg Agama Islam Yayasan Islamic Centre Cirebon, berpendapat bahwa latar belakang pertumbuhan madrasah di Indonesia didorong oleh dua faktor, yaitu menguatnya gerakan pembaharuan Islam di Indonesia dan adanya respon pendidikan Islam terhadap kebijakan pendidikan Hindia Belanda.

Berkenaan dengan sebab pertama, Deliar Noer menjelaskan bahwa dalam tradisi pendidikan Islam di Indonesia, kemunculan dan perkembangan madrasah memang tidak bisa dilepaskan dari gerakan pembaharuan Islam Indonesia pada awal abad ke-20. Gerakan ini diawali oleh usaha sejumlah tokoh intelektual agama Islam untuk merubah cara pandang masyarakat Islam Indonesia pada waktu itu yang dinilai kurang mampu memberikan perhatian terhadap masalah sosial, politik, ekonomi, dan budaya; dan pembaharuan sistem pendidikan dinilai sebagai aspek strategis dalam membentuk pandangan keislaman masyarakat.

Lebih dari itu, munculnya gerakan pembaharuan yang kemudian dikembangkan oleh organisasi-organisasi Islam, baik di Jawa, Sumatera, maupun Kalimantan tersebut, menurut Karel A. Steenbrink, juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: keinginan untuk kembali kepada Al-Quran dan hadits, semangat nasionalisme melawan penjajah, ghirah untuk memperkuat basis gerakan ekonomi, politik, sosial, dan budaya, serta keinginan untuk mengadakan pembaharuan pendidikan di Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa eksistensi madrasah dalam tradisi pendidikan Islam di Indonesia tergolong fenomena modern. Sebab, di samping baru dimulai sekitar abad ke-20, awal keberadaannya juga didasari pada semangat pembaharuan dan perubahan.

Asumsi ini diperkuat dengan kenyataan bahwa dalam buku- buku sejarah pendidikan Islam di Indonesia, misalnya Tradisi Pesantren (Zamakhsyari Dhofier, 1982), Pesantren Madrasah Sekolah (Karel A. Steenbrink, 1986), dan bahkan Madrasah, Sejarah & Perkembangannya (Maksum, 1997), belum ditemukan, untuk mengatakan tidak, keterangan yang menginformasikan adanya lembaga pendidikan yang disebut madrasah pada masa-masa awal penyebaran dan perkembangan Islam di Nusantara. Pada umumnya, buku-buku tersebut hanya menginformasikan bahwa evolusi kelembagaan pendidikan di Indonesia bermula dari pesantren, madrasah, kemudian sekolah. Disinilah kemudian kesimpulan bahwa madrasah yang di Indonesia mulai berkembang pada awal abad ke-20 M merupakan perkembangan lanjutan atau pembaharuan dari lembaga pendidikan sebelumnya, yaitu pesantren atau surau, menemukan relevansinya.

Berkenaan dengan sebab kedua (respon pendidikan Islam terhadap kebijakan pendidikan Hindia Belanda) perlu dipahami bahwa perkembangan yang terjadi dalam sejarah madrasah di Indonesia, tidak berlangsung dalam waktu yang singkat. Berawal dari perubahan bentuk, madrasah terus mengalami tahapan perkembangan, mulai dari sisi materi sampai ke jenjang pendidikan. Seiring dengan itu, madrasah terus mengalami pergeseran, pergesekan, dan dialektika dengan ragam permasalahan bangsa; salah satunya adalah kebijakan pendidikan Hindia Belanda.

Pada ranah perkembangan materi misalnya, respon yang dilakukan oleh beberapa organisasi yang berkembang di awal abad ke-20, seperti Jami'at Al- Khair, Sumatera Thawalib, Muhammadiyah, dan bahkan NU, terhadap kebijakan pendidikan Barat (Kolonial Belanda) yang menerapkan sistem pendidikan sekuler sangat beragam. Menurut Husni Rahim, tidak sedikit dari madrasah yang dikelola oleh organisasi-organisasi Islam tersebut melakukan resistensi untuk tidak menerapkan pendidikan umum. Mereka justru memilih untuk mempertegas garis perbedaan antara pendidikan agama yang kemudian diimplementasikan dalam bentuk pendirian madrasah dengan pendidikan sekuler Belanda dengan memperkuat bidang kajian ilmu agama.

Berkenaan dengan itu, Mukti Ali mensinyalir bahwa pada awal abad ke-20 M, pendidikan di Indonesia terpecah menjadi dua golongan, yaitu: pertama, pendidikan yang diberikan oleh sekolah Barat yang sekuler dan tak mengenal agama, dan kedua, pendidikan yang diberikan oleh pondok pesantren yang hanya mengenal agama saja. Hal serupa juga dikemukakan oleh Wirjosukarto yang membagi pendidikan pada periode tersebut menjadi corak lama yang berpusat di pondok pesantren (madrasah) dan corak baru yang lahir dan berkembang dari sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah Belanda (sekolah).

Lebih jauh lagi, hasil penelitian Steenbrink (1986) menunjukkan adanya perbedaan yang mencolok antara pendidikan kolonial dengan madrasah pada awal perkembangannya, bukan saja dari segi metode, tetapi juga dari segi isi dan tujuannya. Jika pendidikan kolonial Belanda lebih terpusat pada pengetahuan dan keterampilan duniawi (pendidikan umum), madrasah, sebagai lembaga pendidikan Islam, lebih menekankan pada pengetahuan dan keterampilan yang berguna bagi penghayatan agama.

Tentang hal ini, Wirjosukarto secara spesifik merinci ciri-ciri dari masing-masing corak pendidikan tersebut. Menurutnya, ciri yang dimiliki oleh madrasah pada periode awal dapat dipaparkan sebagai berikut:

a. Berorientasi menyiapkan calon kyai atau ulama yang hanya menguasai masalah agama semata.

b. Kurang memberikan pengetahuan untuk menghadapi perjuangan hidup sehari-hari.

c. Sama sekali tidak memberikan pengetahuan umum.

d. Mengisolasi diri, disebabkan sikap non kooperasi secara total dari pihak pesantren terhadap segala sesuatu yang berbau Barat.

Berbeda dengan madrasah, pendidikan kolonial Belanda mempunyai ciri sebagai berikut:

a. Hanya menonjolkan pengetahuan umum saja.

b. Pada umumnya bersikap negatif terhadap agama Islam.

c. Alam pikirannya terasing dari kehidupan bangsanya.

Jurang yang memisahkan antara kedua golongan ini semakin jelas dan semakin hari semakin meluas, baik dalam aktifitas-aktifitas sosial maupun intelektual, dalam cara bergaul, berpakaian, berbicara, berfikir, dan sebagainya.

Terpecahnya dunia pendidikan menjadi dua corak yang sangat berbeda dan bahkan bertentangan seperti ini, sudah barang tentu tidak akan menguntungkan perkembangan intelektual masyarakat Indonesia di masa yang akan datang. Sadar akan hal ini, beberapa intelektual muslim, seperti H. Abdullah Ahmad, Zeinuddin Labay El-Yunusiy, KH. Ahmad Dahlan, dan KH. Ilyas (penerus perjuangan KH. Hasyim Asy'ari) berupaya melakukan inovasi penyelenggaraan pendidikan melalui dua cara, yaitu:

Pertama, mendirikan lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan agama dengan ilmu-ilmu pengetahuan umum. Dengan begitu, madrasah diharapkan akan dapat melahirkan ulama-intelek. Yaitu ulama yang selain pandai dalam ilmu agama, juga memahami ilmu pengetahuan umum.

Kedua, memberikan tambahan pelajaran agama pada sekolah- sekolah umum yang sekuler. Tujuannya, mengisi kekosongan intelegensia masyarakat kolonial akan agama, atau minimal menghilangkan sikap negatif mereka terhadap agama (Islam). Idealnya, langkah ini dapat meningkatkan concern dan semangat mereka untuk memperdalam pengetahuan agama (Islam) secara mandiri.

Dari uraian ini, dapat ditegaskan bahwa di samping kedua corak pendidikan di atas, pada perkembangan selanjutnya, terdapat corak pendidikan ketiga yang dianggap sebagai sintesa antara corak lama dengan corak baru. Yaitu, corak pendidikan yang berusaha memasukkan pendidikan umum pada madrasah dan memasukkan pendidikan agama pada sekolah umum. Corak madrasah seperti inilah yang kemudian dinilai sebagai embrio bagi penyiapan calon ulama-intelek atau intelek-ulama.

Akan hal ini, Wirjosukarto dalam penelitiannya menemukan adanya beberapa perbedaan antara madrasah corak lama dan madrasah sintesis, di antaranya:

1. Sistem Belajar Mengajar. Madrasah lama menggunakan sistem sorogan dan wetonan sehingga hasilnya dianggap kurang efisien, sedangkan di madrasah sintesis menggunakan sistem klasikal dengan mengadopsi sistem pendidikan Barat yang hasilnya dinilai lebih efisien.

2. Materi Pelajaran. Madrasah lama hanya berupa pendidikan agama semata tanpa menggunakan kitab-kitab atau buku-buku hasil pembaharuan, sedangkan di madrasah sintesis selain menggunakan bahan-bahan pelajaran agama juga diajarkan kitab-kitab karangan ulama, baik lama maupun modern.

3. Rencana Pembelajaran. Madrasah lama pada umumnya belum mempunyai rencana pembelajaran yang teratur dan integral, sedangkan dalam madrasah sintesis sudah diatur rencana pembelajaran yang tersusun secara sistematis sehingga efisiensi belajar akan lebih terjamin.

4. Waktu Belajar. Waktu belajar di madrasah corak lama pada umumnya terlalu bebas dan kurang terpimpin, sedangkan di madrasah sintesis semua kegiatan diselenggarakan di dalam asrama yang terpimpin secara teratur.

5. Pengasuh (Guru). Pada madrasah lama, para pengasuh identik dengan alam pikiran lama, sedangkan madrasah sintesis terdiri atas para ulama yang menganut alam pikiran modern.

Corak pendidikan sintesis ini muncul bersamaan dengan lahirnya madrasah-madrasah berkelas, seperti Madrasah Adabiyah yang didirikan oleh Abdullah Ahmad (1909) di Padang. Dalam Sejarah Pendidikan Islam, Mahmud Yunus menjelaskan bahwa Madrasah Adabiyah, meski pada awalnya merupakan sekolah Belanda, merupakan lembaga pendidikan Islam pertama di Indonesia yang memakai sistem klasikal, lengkap dengan bangku, meja, dan papan tulisnya. Sebuah ciri dan semangat pembaharuan yang cukup revolusioner pada zamannya, dan hal itu menurut Muhaimin setidaknya disebabkan oleh tiga faktor, yaitu:

Pertama, terjadinya dialektika antara pemikran Abdullah Ahmad dengan corak pemikiran kaum pembaharu Timur Tengah (Abduh). Kedua, terjadinya kontak intensif antara Abdullah dengan Syeikh Thahir Jalaludin; muslim Singapura yang dianggap sebagai pembaharu di Indonesia disebabkan banyak memperkenalkan faham Muhammad Abduh di Indonesia dan mempublikasikan rancangan pendirian madrasah modern melalui majalah Al-Iman yang duterbitkan di Singapura sekitar tahun 1906 M. Ketiga, tumbuhnya semangat untuk mengikuti jejak langkah penyelenggaraan pendidikan di sekolah gubernemen Padang yang sangat tertib dan baik. Berdasarkan beberapa faktor tersebut, Stoddard menyimpulkan bahwa Madrasah Adabiyah merupakan starting point dalam sejarah pembaharuan pendidikan yang melandasi berdirinya lembaga pendidikan Islam Indonesia yang modern, tidak hanya terbatas pada tingkat sekolah dasar tetapi juga tingkat menengah pertama, atas, dan bahkan perguruan tinggi.

Tokoh lain dalam pembaharuan pendidikan Islam adalah Zainuddin Labay El-Yunusiy (1890-1924), yang mendirikan Madrasah Diniyyah (Diniyyah School) pada tahun 1915 di Padang Panjang. Sebagaimana Madrasah Adabiyah, madrasah ini juga meggunakan sistem klasikal dengan susunan pelajaran yang terdiri atas ilmu-ilmu agama, Bahasa Arab, akhlak, dan ilmu-ilmu umum, seperti sejarah dan ilmu bumi. Bedanya, materi dan corak pendidikannya lebih Islami disebabkan keberadaannya sebagai lembaga pendidikan pribumi yang memang didirikan untuk mengajarkan agama. Hal ini bisa dilihat dari adanya penekanan dalam pendidikan bahasa arab sehingga teks-teks untuk pengetahuan umum pun menggunakan buku-buku yang berbahasa arab.

Tokoh lain yang mempunyai pandangan yang sama dengan Abdullah dan Zainuddin dalam masalah pengembanan madrasah di awal abad ke-20 adalah KH. Ahmad Dahlan. Persamaan tersebut setidaknya dapat dilihat dalam tiga hal pokok, yaitu: pertama, penyelenggaraan kegiatan tabligh. Yakni pengajaran agama yang diberikan kepada sekelompok orang dewasa dalam satu kursus yang teratur; kedua, pendirian sekolah swasta menurut model pendidikan gubernemen yang ditambah beberapa jam pelajaran agama per minggu; dan ketiga, pembentukan kader organisasi dan guru-guru agama dengan mendirikan Pondok Muhammadiyah.

Demikian juga dengan KH. Hasyim Asy'ari, pendiri organisasi massa Islam terbesar di Indonesia ini (Nahdlatul Ulama) juga dikenal sebagai tokoh pembaharuan pendidikan Islam Indonesia. Dia didaulat sebagai tokoh yang telah memperkenalkan pola pendidikan madrasah di lingkungan pesantren Tebu Ireng yang telah didirikannya pada tahun 1899 M. Meski masih berorientasi pada pendidikan agama murni, Hasyim berhasil melakukan perubahan sistem pendidikan Pesatren Tebu Ireng pada tahun 1919 dari sistem sorogan dan wetonan ke sistem klasikal. Dengan kata lain, Hasyim telah berhasil menempatkan madrasah sebagai sub sistem dari sistem pendidikan pesantren.

Enam tahun berselang, perjuangan KH. Hasyim Asy'ari dilanjutkan oleh KH. Ilyas. Waktu itu, sistem pendidikan klasikal sudah menyebar luas dan diadopsi oleh beberapa pesantren lainnya, mulai dari Demak, Kudus, Cirebon, sampai Banten. Di tangan KH. Ilyas, ide pembaharuan pendidikan Hasyim Asy'ari yang pada akhirnya dijadikan sebagai model usaha organisasi Nahdlatul Ulama dalam bidang pendidikan, dikembangkan lebih lanjut. Madrasah NU yang sebelumnya bersifat diniyah murni, dikembangkan menjadi madrasah yang juga mengajarkan ilmu- ilmu umum, misalnya membaca huruf latin, Bahasa Indonesia, ilmu bumi, sejarah Indonesia, dan ilmu hitung (al-jabar).

Format madrasah Salafiyah yang dikelola oleh KH. Ilyas tersebut diperkirakan menjadi cikal bakal bagi perkembangan madrasah pada beberapa dekade berikutnya di lingkungan Pesantren Tebu Ireng pada khususnya dan beberapa pesantren di sekitar Jawa dan Madura pada umumnya. Dalam perkembangan selanjutnya, sebagai respon terhadap pembaharuan pendidikan Islam, kebanyakan pesantren kemudian memasukkan dua model madrasah sekaligus, yaitu madrasah diniyah yang khusus untuk pengajaran ilmu-ilmu agama dan madrasah umum yang terbuka untuk pengajaran ilmu-ilmu non keagamaan. Pertumbuhan madrasah-madrasah pada awal abad ke-20 juga terlihat di beberapa wilayah di Indonesia. Namun demikian. madrasah-madrasah tersebut pada umumnya memiliki pola dan format yang hampir sama dengan apa yang sudah disampaikan di atas, baik di Minagkabau maupun di Jawa. Hal ini disebabkan ketika memasuki periode perkembangan pasca kemerdekaan Indone- sia, usaha pembinaan dan pengembangan madrasah oleh pemerintah sebagian besar bertumpu pada madrasah-madrasah yang sudah ada.

Meski pada akhirnya pemerintah Indonesia mendirikan madrasah-madrasah baru, tetapi cikal bakal pengembangannya tidak bisa dilepaskan dari madrasah-madrasah yang sudah muncul pada masa pertumbuhan. Pemerintah berasumsi bahwa hal tersebut dapat mempermudah dalam melakukan konservasi atau pemeliharaan madrasah secara dinamis dan berkesinambungan.

Sejalan dengan itu, Muhaimin (2003) memperkirakan bahwa seradikal apapun perubahan yang diusahakan oleh pemerintah, agaknya pola dan variasi madrasah tidak akan keluar dari empat format dasar, yaitu: pertama, pola madrasah yang menyerupai sekolah Belanda, terutama dalam sistem pengajaran klasikalnya meski muatan materinya tetap menonjolkan ilmu-ilmu agama Is lam. Misalnya, Madrasah Tebu Ireng pimpinan KH. Hasyim Asy'ari dan Sumatera Thawalib; kedua, pola madrasah yang lebih menekankan muatan keagamaan dan menambahkan muatan- muatan umum secara terbatas. Misalnya, Madrasah Diniyah pimpinan Zaenudin Lebay dan Madrasah Salafiyah Tebu Ireng pimpinan KH. Ilyas; ketiga, pola madrasah yang menggabungkan secara lebih seimbang antara muatan-muatan keagamaan dan non keagamaaan. Misalnya, Pondok Muhammadiyah; dan keempat, pola madrasah yang mengikuti pola gubernemen dengan ditembah beberapa mata pelajaran agama. Misalnya, Madrasah Adabiyah dan Sekolah Muhammadiyah. 

2. Madrasah di Era Orde Lama; Mempertahankan Eksistensi

Perkembangan madrasah pada masa Orde Lama sangat identik dengan peran Departemen Agama yang resmi didirikan pada tanggal 3 Januari 1946. Lembaga inilah yang secara intensif memperjuangkan politik pendidikan Islam di Indonesia. Waktu itu, salah satu orientasi Departemen Agama dalam bidang pendidikan Islam bertumpu pada aspirasi umat Islam agar pendidikan agama diajarkan di berbagai sekolah, di samping pada pengembangan madrasah itu sendiri. Dalam salah satu dokumen disebutkan bahwa tugas bagian pendidikan di lingkungan Departemen Agama meliputi: pertama, memberikan pengajaran agama di sekolah negeri dan partikulir (swasta), kedua, memberikan pengetahuan umum di madrasah, dan ketiga, mengadakan Pendidikan Guru Agama (PGA) serta Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN).

Dengan adanya tugas-tugas seperti di atas, Departemen Agama dapat dikatakan sebagai representasi umat Islam dalam memperjuangkan penyelenggaraan pendidikan Islam secara lebih meluas di Indonesia. Dalam kaitannya dengan perkembangan madrasah, Departemen tersebut menjadi andalan yang secara politis dapat mengangkat posisi madrasah sehingga memperoleh perhatian yan serius di kalangan pemimpin yang mengambil kebijakan. Di samping melanjutkan usaha-usaha yang dirintis oleh sejumlah tokoh seperti KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy'ari, KH. Ilyas, Mahmud Yunus dll., Departemen Agama secara lebih tajam mengembangkan program-program perluasan dan peningkatan mutu pendidikan.

Salah satu gambaran yang cukup menonjol dari perkembangan madrasah pada masa Orde Lama adalah dengan didirikan dan dikembangkannya Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN). Menurut Mahmud Yunus, kedua madrasah ini menandai perkembangan yang sangat signifikan di mana madrasah dimaksudkan untuk mencetak tenaga yang profesional dalam bidang keagamaan. Terutama PGA yang nantinya akan menghasilkan guru-guru agama yang secara praktis menjadi motor bagi penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan madrasah sehingga bisa dikatakan bahwa lembaga tersebut menjamin perkembangan madrasah di Indonesia.

Dari catatan Mahmud Yunus, diperoleh data bahwa sejarah perkembangan PGA pada masa Orde Lama bermula dari pro- gram Departemen Agama yang ditangani oleh Drs. Abdullah Sigit sebagai penanggung jawab bagian pendidikan. Pada tahun 1950 bagian ini membuka dua lembaga pendidikan yang dikatakan sebagai madrasah profesional keguruan, yaitu: Sekolah Guru Agama Islam (SGAI). Sekolah ini terdiri dari dua jenjang: (a) jenjang jangka panjang yang ditempuh selama 5 tahun dan diperuntukkan bagi siswa tamatan SR/MI, dan (b) jenjang jangka pendek yang hanya ditempuh selama 2 tahun dan diperuntukkan bagi tamatan SMP/Madrasah Tsanawiyah. Sedangkan lembaga yang kedua yaitu Sekolah Guru Hakim Agama Islam (SGHAI). Sekolah ini ditempuh selama 4 tahun dan diperuntukkan bagi tamatan SMP/Madrasah Tsanawiyah. SGHI sendiri dibagi dalam empat bagian:

(a) Bagian A mencetak guru kesusastraan,

(b) Bagian B mencetak guru ilmu alam,

(c) Bagian C mencetak guru agama dan

(d) Bagian D mencetak tenaga pengadilan agama.

Pada tahap pertama, kedua model madrasah ini hanya didirikan di beberapa kota di Jawa. Dalam perkembangannya kemudian, SGAI berubah menjadi Pendidikan Guru Agama (PGA) dan SGHI berubah menjadi Sekolah Hakim Guru Agama (SGHA). Dengan perubahan itulah kemudian kedua lembaga tersebut didirikan di sejumlah daerah di luar Jawa.

Ketika Jawatan Pendidikan Agama dipegang oleh Arifin Tamyang, struktur madrasah keguruan ditata ulang karena dianggap terkesan mengurangi eksistensi madrasah tersebut. PGA yang dulu ditempuh cukup dengan 5 tahun, dirubah menjadi 6 tahun yang terdiri dari tingkat Pertama selama 4 tahun dan tingkat Atas selama 2 tahun. Kebijakan Arifin juga menegaskan dihapuskannya PGA jangka pendek 2 tahun.

Sementara itu perubahan drastis juga terjadi pada SGHA. Menurut Maksum, madrasah yang terakhir ini dirubah menjadi Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN), yang tidak lagi membuka jurusan keguruan seperti guru kesusastraan dan guru ilmu alam. Adapun upaya untuk mencetak guru agama hanya disediakan Pendidikan Guru Agama selama 6 tahun. Perubahan ini cukup menyulitkan lulusan madrasah-madrasah yang sudah ada untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tingi.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, salah satu hasil yang cukup menonjol dari pembinaan madrasah pada masa Orde Lama adalah pengembangan yang intensif terhadap madrasah keguruan, baik dalam bentuk Pendidikan Guru Agama maupun Sekolah Guru Hakim Agama. Adapun variasi kurikulum antar berbagai perkumpulan pada umumnya masih nampak meskipun sudah mulai diarahkan pada perjenjangan yang sesuai dengan perjenjangan sekolah. Meskipun belum maksimal, namun perkembangan madrasah pada masa Orde Lama memberikan sumbangan yang cukup penting bagi perkembangan madrasah pada masa berikutnya. Perkembangan jumlah PGA pada tahun 1951 mencapai 25 buah dan pada tahun 1954 mencapai 30 buah. Dengan jumlah tersebut kiranya dapat dipertimbangkan banyaknya guru yang telah dicetak sehingga dapat mendukung pendirian dan pengembangan madrasah dan pendidikan agama di Indonesia.

Sampai pertengahan dekade 60-an, madrasah tersebar di berbagai daerah hampir di seluruh propinsi di Indonesia. Dilaporkan bahwa jumlah madrasah tingkat rendah pada masa itu sudah mencapai 13.057. Laporan yang sama juga menyebutkan bahwa jumlah madrasah tingkat pertama (Tsanawiyah) mencapai 776 buah dengan jumlah murid sebanyak 87.932 orang. Adapun jumlah madrasah tingkat atas (Aliyah) diperkirakan mencapai 16 madrasah dengan jumlah murid sebanyak 1.881 orang. Dengan demikian, berdasarkan laporan di atas, jumlah madrasah keseluruhan sudah mencapai 13.849 buah dengan jumlah murid sebanyak 2.017.590 orang. Perkembangan ini menunjukkan bahwa sudah sejak awal, pendidikan madrasah memberikan sumbangan yang signifikan bagi proses pencerdasan dan pembinaan akhlak bangsa. secara

3. Orde Baru; Era Pengembangan Madrasah

Secara umum dapat diakui bahwa kebijakan pemerintah Orde Baru mengenai pendidikan agama, termasuk madrasah, bersifat positif dan konstruktif, khususnya dalam dua dekade terakhir 1980- an-1990-an. Pemerintah Orde Baru memandang bahwa madrasah harus dikembangkan dalam rangka pemerataan kesempatan dan peningkatan mutu pendidikan. Kebijakan seperti ini secara lebih kuat tercermin dalam komitmen Orde Baru untuk menyelenggarakan pendidikan agama sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Sistem Pendidikan Nasional.

Pada masa awal pemerintahan Orde Baru, beberapa kebijakan mengenai madrasah bersifat melanjutkan dan memperkuat kebijakan Orde Lama. Pada tahap ini madrasah belum dipandang sebagai bagian dari sistem pendidikan secara nasional, hanya sebagai lembaga pendidikan otonom di bawah pengawasan Menteri Agama. Menurut Maksum, hal ini disebabkan kenyataan bahwa sistem pendidikan madrasah lebih didominasi oleh muatan- muatan agama, menggunakan kurikulum yang belum standar, memiliki struktur yang tidak seragam dan memberlakukan managemen yang kurang dapat dikontrol oleh pemerintah. Menghadapi kenyataan seperti ini, maka langkah pertama dalam pembaharuan pendidikan madrasah adalah melakukan formalisasi dan strukturisasi madrasah. Formalisasi ditempuh menegerikan sejumlah madrasah dengan kriteria tertentu yang diatur oleh pemerintah, disamping mendirikan madrasah negeri yang baru. 

Sedangkan strukturisasi dilakukan dengan menagtur penjenjangan dan perumusan kurikulum yan cenderung sama dengan penjenjangan dan kurikulum sekolah-sekolah di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Pada tahap berikutnya, pemerintah Orde Baru mulai memikirkan kemungkinan mengintegrasikan madrasah ke dalam Sistem Pendidikan Nasional. Usaha ini agaknya sederhana karena secara konstitusional pendidikan nasional masih di atur oleh UU No. 4 Tahun 1950 jo. No. 12 Tahun 1954 yang terkesan mengabaikan pendidikan madrasah. Jadi yang bisa dilakukan oleh pemerintah pada saat itu adalah memperkuat struktur madrasah - baik dalam jenjang maupun kurikulumnya - sehingga lulusannya dapat memperoleh pengakuan yang sama dengan lulusan sekolah lain dan dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi di sekolah-sekolah yang dikelola oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Oleh karena itu, pada masa H. A. Mukti Ali menjabat sebagai Menteri Agama, dikeluarkanlah kebijakan berupa Keputusan Bersama Tiga Menteri (Menag, Mendikbud, dan Mendagri) pada tahun 1974 tentang peningkatan mutu pendidikan madrasah.

Akan hal ini, Muhaimin berpendapat bahwa usaha di atas dilakukan dengan memberikan porsi 70% untuk pendidikan umum dan 30% untuk pendidikan agama. Menurutnya, jika dilihat dari isu sentralnya, Mukti Ali rupanya ingin mendobrak pemahaman masyarakat yang bernada sumbang terhadap seksistensi madrasah, di mana ia senantiasa didudukkan dalam posisi margianl karena hanya berkutat pada kajian Islam saja, bahkan terkesan miskin dengan pendidikan umum, sehinga outputnya kurang diperhitungkan oleh masyarakat. Terbukti ruh dari SKB tersebut belum banyak ditangkap dan dipahami oleh para pembina dan pengelola madrasah itu sendiri. Porsi 70% untuk pengetahuan umum dan 30% untuk pengetahuan agama tidak dipahami secara substansial tetapi simbolik, sehingga lagi-lagi outputnya menjadi mandul, penguasaan pengetahuan umum masih dangkal dan begitu pula halnya dengan pengetahuan agama. Bertolak dari permasalahan tersebut, ketika menjabat sebagai

Menteri Agama, Munawir Sadzali mencoba menawarkan satu konsep Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK). Madrasah ini bertujuan untuk menjawab problem kelangkaan ulama dan atau kelangkaan umat Islam yang menguasai kitab-kitab berbahasa Arab serta ilmu-ilmu keislaman lainnya. Adapun madrasah non keagamaan tidak jauh berbeda dengan SMU karena porsi pengetahuan agama lebih sedikit dibanding sebelumnya.

Dalam implementasinya, konsep ini cukup menimbulkan kerisauan di kalangan guru madrasah. Lagi-lagi masalah prosentase antara pengetahuan umum dan agama yang dipahami secara simbolik menjadi sumber permasalahannya. Akhirnya, pada periode Tarmidzi Taher ditawarkan kebijakan "Madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas agama Islam" kurikulumnya sama dengan sekolah non madrasah. yang muatan

Perkembangan selanjutnya adalah menjelaskan tentang posisi umat Islam yang lebih baik pada dekade selanjutnya, yakni kenyataan yang berkaitan dengan perkembangan intelektual di kalangan santri di Indonesia. Hal ini muncul pada dekade 80-an setelah pada dekade pertama Orde Baru berhasil meningkatkan pembangunan dalam bidang pendidikan. Hasilnya, sebagaimana diungkapkan Syafi'i Anwar (1995), kalangan masyarakat yang berbasis budaya santri semakin banyak memperoleh kesempatan untuk memanfaatkan fasilitas pendidikan yang tersedia, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi.

Kebijakan Orde Baru dalam bidang pendidikan juga memberikan dampak yang cukup berarti pada perkembangan pendidikan agama di Indonesia. Hal ini dengan sendirinya ikut mendorong lahirnya intelektual dari kalangan santri. Kaum muslimin yang masih berkonsentrasi pada keilmuan Islam, tegas Maksum, mulai dapat memanfaatkan madrasah-madrasah dan perguruan-perguruan tinggi yang diselenggarakan secara lebih modern. Melalui lembaga ini, kaum muslimin tidak hanya dibekali dengan wawasan keislaman saja, tetapi juga sejumlah ketrerampilan administrasi dan manajemen sehingga membuka peluang bagi mereka untuk terlibat dalam pengelolaan negara, khususnya dalam lingkup Departemen Agama.

Memasuki dekade 1990-an, kebijakan pemerintah Orde Baru mengenai madrasah ditujukan secara penuh untuk membangun satu sistem pendidikan nasional yang utuh. Dengan satu sistem yang utuh, dimaksudkan bahwa pendidikan nasional tidak hanya bergantung pada pendidikan jalur sekolah tetapi juga memanfaatkan jalur di luar sekolah. Dalam hal ini pemerintah Orde Baru melakukan langkah konkrit berupa penyusunan Undang- Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan sekaligus menggantikan UU No. 4 Tahun 1950 jo NO. 12 Tahun 1954. Dalam konteks ini penegasan definitif tentang madrasah diberikan melalui keputusan-keputusan yang lebih operasional dan dimasukkan dalam kategori pendidikan sekolah tanpa menghilangkan karakter keagamaannya. Melalui upaya ini dapat dikatakan bahwa madrasah berkembang secara terpadu dalam Sistem Pendidikan Nasional.

Bagaimana pun perkembangan kebijakan terhadap madrasah tidak bisa diisolasikan dari politik Orde Baru terhadap agama Is- lam. Dapat dipastikan bahwa tingkat apresiasi pemerintah terhadap madrasah mencerminkan tingkat dan pola hubungan negara dan agama Islam. Dalam situasi dimana hubungan Islam dengan negara mengarah pada konflik, perkembangan madrasah cenderung terbatasi ; bahkan mungkin terancam eksistensinya. Begitu pun sebaliknya, dalam kondisi hubungan negara dan Islam bersifat integratif, kebijakan Orde Baru terhadap madrasah tampak sangat positif dengan menempatkan madrasah secara konsisten dalam Sistem pendidikan nasional. 

4. Era Reformasi; Desentralisasi dan Deregulasi Madrasah

Seperti telah dipaparkan di atas bahwa pemerintah telah banyak mengeluarkan berbagai kebijakan berkenaan dengan peningkatan pendidikan Islam khususnya madrasah. Diantara kebijakan-kebijakan pemerintah adalah dengan dikeluarkannya berbagai macam Undang-undang yang peningkatan pendidikan Islam. berkenaan dengan

Namun demikian, peraturan itu tidak juga serta merta mengubah madrasah tumbuh dan berkembang seperti yang diharapkan. Seperti kita ketahui, madrasah itu sendiri lahir, tumbuh dan berkembang dari dan untuk masyarakat. Masyarakatlah yang membentuk, membina dan mengembangkannya. Dari segi kuantitas perkembangan madrasah boleh jadi sangat pesat, namun dari segi kualitas sangat lamban. Hal ini mungkin menjadi konsekuensi madrasah yang bersifat populis yang selalu cenderung memekar dan belum sempat mendalam.

Keterikatan masyarakat terhadap madrasah ini lebih ditampakkan sebagai "ikatan emosional" dibanding ikatan rasional. Ikatan ini muncul dikarenakan bertemunya dua kepentingan. Pertama, hasrat kuat masyarakat Islam untuk berperan serta dalam pendidikan (meningkatkan pendidikan anak-anak di sekitar tempat tinggalnya). Kedua, motivasi keagamaan (keinginan agar anak-anak mereka selain mendapat pendidikan umum juga mendapat pendidikan agama yang cukup).

Kuatnya ikatan emosional masyarakat ini telah menyebabkan madrasah menjadi lebih massif, populis dan mencerminkan suatu gerakan masyarakat bawah: Oleh karena itu, madrasah lebih banyak terdapat di pedesaan atau di daerah pinggiran dan lebih dimotivasi, secara intrinsic bahwa belajar dianggap sebagai suatu kewajiban. Motivasi agama ini didukung pula oleh ajaran wakaf yang memben dorongan bahwa tanah/sarana yang diwakafkan akan terus mengalir amalnya walaupun yang bersangkutan telah meninggal dunia. Maka tidak heran jika hampir seluruh tanah madrasah adalah wakaf.

Keterikatan emosional ini, di satu sisi merupakan potensi dan kekuatan madrasah karena rasa memiliki dan rasa tanggung jawab yang ditanamkan sangat tinggi. Akan tetapi di pihak lain hal ini akan menjadi kendala karena mereka merasa sebagai pemilik dan pendiri yang membina madrasah sejak awal. Sebagian masyarakat mungkin tidak akan bisa menerima dengan mudah ide-ide reformasi yang diluncurkan, kecuali dalam keadaan terdesak.

Menurut Husni Rahim, reformasi pendidikan agama Islam akan selalu menuntut adanya perubahan sikap masyarakat dan pengelola lembaga pendidikan (terutama swasta) dari paradigma lama ke paradigma baru, yaitu madrasah sebagai pendidikan umum berciri khas Islam. Mungkin saja ada sebagian masyarakat dan pengelola yang merasa keberatan dengan perubahan tersebut dengan dalih bahwa muatan pendidikan keagamaan pada MI, MTs dan MA menjadi berkurang. Dengan demikian lulusan madrasah tidak jauh berbeda dengan lulusan sekolah umum lainnya.

Keadaan tersebut menimbulkan adanya kecenderungan baru di kalangan umat Islam Indonesia untuk mendirikan sekolah atau Madrasah Unggulan. Hal ini tentunya bernilai positif karena lembaga pendidikan Islam selama ini dinilai kurang menjanjikan. Dalam kaitan ini A. Malik Fadjar selaku Menteri Pendidikan pernah berkomentar:

"Kurang tertariknya masyarakat untuk memilih lembaga-lembaga pendidikan Islam sebenarnya bukan karena telah terjadi pergeseran nilai atau ikatan keagamaannya yang mulai memudar melainkan karena sebagian besar kurang menjanjikan dan kurang responsive terhadap tuntutan dan permintaan saat ini maupun mendatang."

Para orang tua murid agaknya mulai tertarik untuk menitipkan anak-anaknya di sekolah-sekolah Islam unggulan, seperti Al-Azhar, Madrasah Pembangun UIN, dan Insan Cendekia, dan bahkan di pesantren-pesantren. Hal ini mengingat pondok pesantren yang ada sekarang ini umumnya bukan lagi pesantren tempo dulu. Menurut Suwito (2002), dalam perkembangannya, banyak pondok pesantren yang selain mengajarkan pengetahuan agama Islam juga menyelenggarakan berbagai kegiatan lain, seperti pramuka, koperasi, latihan berbagai keterampilan, juga pendidikan formal seperti madrasah dan sekolah umum bahkan perguruan tinggi. Bahkan pondok pesantren modern yang menggunakan pengantar Bahasa Arab dan/atau Inggris telah menjadi trademark pendidikan Islam masa depan.

Demikianlah sekilas tentang dinamika dan kontinuitas madrasah di Indonesia hingga sampai pada bentuknya yang sekarang. Keberadaannya terus mengalami perkembangan sesuai dengan perubahan konteks yang melingkupinya. Sejalan dengan itu, dinamisasi pemikiran generasi bangsa untuk terus memajukan dan mengkontekstualisasikannya menjadi sebuah keniscayaan.

Referensi :

Ainurrafiq dan Ta’arifin, Manajemen Berbasis Madrasah, (Jakarta : Listafarista Putra, 2005), h. 31-52

 Gambar :

https://www.harapanrakyat.com/2021/09/sejarah-madrasah-di-indonesia/

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama